Saturday, December 31, 2011

Selamatkan Indonesia Dengan Syariah Menuju Indonesia Lebih Baik [Al Islam 537] TAHUN 2010 telah berakhir . Fajar tahun baru 2011 telah hadir. Sepanjang tahun 2010 banyak peristiwa ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya yang telah terjadi. Terkait sejumlah peristiwa tersebut, pemerintahan Indonesia memberikan catatan sebagai berikut: 1. Demokrasi: Sistem Cacat, Menindas Rakyat. Demokrasi di Indonesia-sekalipun mendapatkan pujian dalam Bali Democracy Forum (10/12/2010)-tidaklah memiliki wujud nyata di tengah masyarakat. Sepanjang tahun 2010, banyak tragedi yang menunjukkan dengan jelas kecacatan sistem ini. Yang paling menonjol, Indonesia dengan demokrasinya telah menempatkan diri sebagai subordinat kepentingan negara kapitalis Amerika Serikat dan sekutunya. Kunjungan Obama ke negeri ini menjadi simbol dari pola hubungan tersebut. Demikian juga perang melawan teror yang diadopsi Pemerintah Indonesia yang merupakan turunan dari GWOT (global war on terrorism)-nya AS. Wajah buruk demokrasi terkuak. Hanya karena diberi label ‘Perang Melawan Terorisme’, sistem demokrasi kemudian membiarkan adanya penculikan, penahanan paksa dan rahasia serta penyiksaan. Korbannya semuanya Muslim. Semua itu legal hanya karena alasan demi kepentingan keamanan nasional. Sistem ini telah membuang hak asasi manusia dan prinsip-prinsip keadilan hukum. Sistem demokrasi telah menunjukkan jatidirinya yang asli: menindas rakyat. Sistem ini pun meniscayakan perselibatan pihak penguasa dengan pengusaha. Pengusaha berkepentingan untuk mendapatkan dukungan kekuasaan demi usahanya. Sebaliknya, penguasa memerlukan dukungan (modal) pengusaha untuk meraih dan mempertahankan kekuasaannya. Walhasil, demokrasi hanyalah ‘kuda tunggangan’ bagi kedua kelompok ini, sementara rakyat hanya dijadikan obyek eksploitasi kepentingan mereka. Wajar jika banyak keputusan, kebijakan, UU atau peraturan yang dihasilkan melalui proses demokrasi nyata-nyata lebih berpihak kepada mereka ketimbang kepada rakyat. Inilah demokrasi-sebuah sistem yang cacat dan mengabaikan rakyat, yang tak layak diadopsi oleh umat Islam. 2. DPR: Fasilitas ‘Wah’, Kinerja Rendah. Gaji setiap anggota DPR saat ini sangatlah besar. Belum lagi tunjangannya yang bermacam-macam dan rata-rata juga gede. Totalnya puluhan juta rupiah perbulan. Meski begitu, berbagai upaya tetap dilakukan untuk terus menumpuk kekayaan dan fasilitas mewah para anggota DPR. Selain usulan dana aspirasi, DPR juga berencana membangun gedung baru, yang akan menghabiskan biaya Rp 1,8 triliun. Gedung itu juga akan dilengkapi dengan pusat kebugaran dan spa. Para anggota DPR pun getol jalan-jalan keluar negeri dengan judul ‘studi banding’. Biayanya sepanjang tahun 2010 dianggarkan Rp 162,9 miliar. Jika dibagi rata kepada 560 anggota DPR, setiap orang mendapat Rp 290,97 juta setahun atau Rp 24,25 juta setiap bulan. Anggaran sebesar ini hanya untuk kunjungan kerja ke luar negeri. Anggaran kunjungan di dalam negeri malah lebih besar lagi. Audit Badan Pemeriksa Keuangan Juni 2009 menyatakan disclaimer (tidak memberikan pendapat) terhadap pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas pimpinan dan anggota DPR untuk tahun anggaran 2007 dan 2008 yang seluruhnya berjumlah Rp 341,34 miliar. Dengan semua fasilitas yang serba ‘wah’ itu, bagaimana prestasinya? Ternyata, kinerja DPR dalam kurun terakhir ini sangat buruk. Mahkamah Konstitusi menilai, produk legislasi DPR selama ini banyak yang tak beres karena menyimpang dari arah dan strategi Program Legislasi Nasional. Dalam lima tahun terakhir, MK telah membatalkan 58 UU yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dari 108 UU yang diujimaterikan. Bahkan ada UU yang diuji lebih dari sekali. Selesai pasal ini, ganti pasal lainnya yang diuji. Misalnya, UU Pemerintah Daerah diuji lebih dari 5 kali, Undang-Undang KPK diuji 9 kali, Undang-Undang Pemilu diuji 8 kali. Banyak produk UU yang ujung-ujungnya juga hanya memenuhi kepentingan individu, kelompok tertentu yang ada dalam oligarki kekuasaan serta pihak asing. Untuk rakyat cukup janji-janji kosong tentang perubahan. Faktanya, meski banyak produk UU dihasilkan, rakyat tak pernah beranjak dari penderitaannya. 3. State Corruption. Korupsi di negeri ini makin sistemik. Artinya, korupsi bukan lagi dilakukan oleh satu-dua orang, tetapi oleh banyak orang secara bersama-sama. Terungkapnya kasus Gayus menunjukkan hal itu. Yang jauh lebih berbahaya adalah saat negara justru menjadi pelaku korupsi melalui utak-atik kebijakan dan peraturan. Inilah yang disebut state corruption (korupsi negara). Skandal Bank Century dan IPO Krakatau Steel adalah contoh nyata. Kasus itu diduga telah merugikan negara triliunan rupiah. Segala usaha pemberantasan korupsi menjadi tak banyak artinya karena pelakunya adalah negara yang dilegalisasi oleh dirinya sendiri. 4. Kebijakan Ekonomi Liberal. Saat ini makin banyak kebijakan ekonomi liberal yang dikeluarkan pemerintah. Di antaranya adalah kenaikan tarif listrik (TDL), privatisasi sejumlah BUMN dan rencana pembatasan subsidi BBM. Kenaikan TDL sebetulnya bisa dihindari andai PLN mendapat pasokan gas. Anehnya, produksi gas yang ada, seperti Gas Donggi Senoro, 70%-nya malah akan dijual ke luar negeri. Demikian pula privatisasi sejumlah BUMN. Bila alasannya untuk menambah modal, mengapa tak diambil dari APBN atau dari penyisihan keuntungan? Bila untuk bank kecil seperti Bank Century yang milik swasta, Pemerintah dengan sigap menggelontorkan uang lebih dari Rp 6 triliun, mengapa untuk perusahaan milik negara langkah seperti itu tak dilakukan? Adapun rencana pembatasan BBM tak lebih merupakan usaha Pemerintah untuk menuntaskan liberalisasi sektor Migas seperti yang digariskan IMF. Kebijakan itu tentu akan membuat perusahaan asing leluasa bermain di sektor hulu dan hilir (ritel/eceran). SPBU-SPBU asing akan mengeruk keuntungan besar dengan kebijakan ini. Ini tentu sebuah ironi besar. Bagaimana mungkin rakyat membeli barang milik mereka dari pihak asing dengan harga yang ditentukan oleh mereka, justru di dalam rumah mereka sendiri? Kebijakan ekonomi yang makin liberal itu tentu makin memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. Pengangguran pun makin meningkat. Akibatnya, sebagian dari mereka pun mencari kerja ke luar negeri. Namun, bukan uang yang didapat, tetapi penderitaan dan penyiksaan seperti yang menimpa Sumiati, bahkan pembunuhan seperti yang dialami Kikim Komalasari dan sejumlah TKW lain. 5. Intervensi Asing. DPR yang diidealkan menjadi wakil rakyat, realitasnya justru menjadi alat pengesah campur tangan asing. UU SDA yang dihasilkan DPR, misalnya, tak lain merupakan pesanan dari Bank Dunia. UU lain seperti UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Kelistrikan dll juga diduga sarat kepentingan asing. Di sisi lain, intervensi asing, khususnya Amerika Serikat, bakal kian kokoh setelah naskah Kemitraan Komprehensif ditandatangani Pemerintah. Kunjungan Obama bulan lalu makin memperkuat cengkeraman kuku negara imperialis itu di negeri ini. Terungkapnya sejumlah dokumen diplomatik penting terkait Indonesia melalui situs Wikileaks hanyalah menegaskan tentang adanya campur tangan AS terhadap negeri ini. 6. Isu Terorisme dan Kebrutalan Densus 88. Isu terorisme di tahun 2010 tak juga kunjung padam. Sejumlah kasus yang diklaim sebagai tindak terorisme seperti perampokan Bank CIMB - Niaga di Medan terjadi. Namun, dari investigasi yang dilakukan, terkuak sejumlah kejanggalan sekaligus kezaliman yang dilakukan Densus 88. Hal ini dipertegas oleh kesimpulan yang dilakukan Komnas HAM. Namun, Densus 88 tetap bergeming. Operasi jalan terus, nyaris tanpa kendali dan kontrol. Korban mungkin masih akan kembali berjatuhan di tahun-tahun mendatang, yang semuanya adalah Muslim. 7. Konflik Umat dan Aliran Sesat. Sejumlah konflik umat terjadi di tahun 2010. Sesungguhnya konflik itu timbul bukan dipicu oleh umat Islam seperti yang banyak dituduhkan. Konflik umat dengan kelompok Ahmadiyah, misalnya, terjadi karena kelompok ini memang keras kepala. Mereka tak menaati SKB Tiga Menteri. Demikian juga konflik umat Islam dengan kelompok Kristen, terjadi karena mereka tak menaati ketentuan menyangkut pendirian tempat ibadah. Persoalan makin rumit saat mereka-dengan dukungan media massa dan jaringan LSM internasional-memaksakan kehendak. Terjadilah apa yang disebut ‘tirani minoritas’ yang merugikan kaum Muslim, penduduk mayoritas negeri ini. 8. Musibah dan Bencana. Sepanjang tahun 2010 negeri ini diwarnai oleh banyak bencana: tsunami di Mentawai, longsor di Wasior Papua dan letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah/DIY. Bencana tersebut menyisakan sebuah ironi. Bila diyakini bahwa segala bencana itu adalah karena qudrah (kekuatan) dan iradah (kehendak) Allah SWT, lalu mengapa pada saat yang sama kita tetap tak mau tunduk dan taat kepada Allah SWT dalam kehidupan kita? Mengapa bangsa ini tak segera menerapkan syariah-Nya secara total dalam seluruh aspek kehidupan sebagai bukti ketaatannya kepada Allah SWT? Haruskah bangsa ini menunggu teguran lain berupa bencana yang lebih besar lagi? Berkenaan dengan kenyataan di masyarakat dapat bersikap: 1. Ada dua faktor utama di balik berbagai persoalan yang timbul, khususnya di sepanjang tahun 2010 ini: sistem yang bobrok (yakni sistem Kapitalisme-sekular, termasuk demokrasi di dalamnya) dan pemimpin (penguasa/wakil rakyat) yang tak amanah. Karena itu, bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan di atas, kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya datang dari Zat Yang Mahabaik, Allah SWT. Itulah syariah Islam yang diterapkan dalam sistem Khilafah. Adapun pemimpin yang amanah adalah yang mau sungguh-sungguh menjalankan sistem yang baik itu itu. 2. Di sinilah sesungguhnya pentingnya seruan ”Selamatkan Indonesia dengan Syariah-Menuju Indonesia Lebih Baik”. Sebab, hanya dengan sistem yang berdasarkan syariah dalam institusi Khilafah dan dipimpin oleh pemimpin yang amanah (khalifah) Indonesia benar-benar bisa menjadi lebih baik. Dengan itu kerahmatan Islam bagi seluruh alam bisa diwujudkan secara nyata. 3. Karena itu, hendaknya seluruh umat Islam, khususnya mereka yang memiliki kekuatan dan pengaruh, berusaha dengan sungguh-sungguh memperjuangkan penerapan syariah dan Khilafah di negeri ini. Hanya dengan syariah dan Khilafah saja kita bisa menyongsong tahun mendatang dengan lebih baik. Sebagai catatan akhir, marilah kita merenungkan ayat ini: أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّـهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50)। (hizbut-tahrir.or.id/mitrakomputer1.tk) 0 komentar: Poskan Komentar
Truth About Democracy Posted by: muhammadghazi on: Februari 3, 2011 Dalam: issues | tsaqafah Komen! Assalamualaikum, this article is copied from Al-Junnah.com (www.aljunnah.com). Source No other word has ever had such presumption than democracy: excessive attention, propaganda and care have been devoted to it; the spotlights were shed on it became the centre of attention everywhere; to most people it became the perfect model, the ‘yard stick` and most individuals proudly announce that they are democrats, this has reached a point …where some of those who claim to be working for Islam began calling for democracy. Therefore a look at the reality of democracy has become necessary, to demonstrate why it contradicts Islam. Democracy means the rule ‘ of the people by the people and for the people `, i.e. the sovereignty belongs to the people , or further more , it is the people who exercise their will by laying down their own laws and hiring the rulers to implement those laws upon them; therefore freedom had to be given to the people in order to allow them to choose the system they want. This is completely contradictory to Islam. In Islam the sovereignty is to Shari‘ah and not to the people, i.e. the rule belongs to Allah (SWT); all human beings are servants to Allah and should abide by His rules and implement His system. Thus the Islamic ‘aqeeda (doctrine) is the cornerstone of the Islamic state, all the rules implemented in the Islamic state must be derived from the ‘aqeeda , i.e. they should emanate from the divine revelation (wahy) and not to the mind , for the mind is subject to differences, disparities, contradictions and various influences. Therefore, the rules must come from the Lord of the servants. The democratic system is designed by humans and is the fruit of their minds, this in essence is contradictory to Islam. Some (naive) Muslims failed to differentiate between the ‘shura’ system in Islam and the political system of democracy, for both of them rely on selection and voting, therefore they erroneously associate Islam as being democratic. This is, however, a flagrant error, because the function of the shura council is consultative, whereas that of the parliament in the democratic system is legislative. It is necessary to understand that the shura council is not allowed to legislate, for the legislator is Allah (SWT); whereas the parliament is the institution that legislates, adopts and alters the rules at will, but in Islam no one is allowed to legislate or alter any of Allah’s rules. As for the concept of the ‘freedom’ which lies at the basis of democracy, this too contradicts Islam for their are no freedoms in Islam. The basis that Islam came with decrees that man is a servant to Allah(SWT). It is the noblest of characteristics and highest attainment in life for the human being to be a servant to Allah (SWT), it is also the perfect worship for the servant to obey the commands of the one most worthy to be worshipped; that is contradictory to the concept of exercising one’s own sovereignty on which the fallacious concepts of freedom have been founded in the West. The freedoms indoctrinated to people in the West and on which the democratic system is based are four : 1. Freedom of expression (opinion) : And from it the democratic system of government was established; this has no place in Islam for the Islamic state has the Islamic aqeeda as its basis, and no opinion that violates that ‘aqeeda is allowed; Allah (SWT) says, “The rule is to none but Allah.” (TMQ 6:57) He (SWT) also says, “That is the judgment of Allah. He judges between you. Allah is the knower, the wise.” (TMQ 10:60) Therefore it is forbidden to have any thought contradicting the rule of Allah. 2 .Freedom of creed (belief) : This also has no place in Islam, the apostate is killed after being given a chance to repent, for the Messenger of Allah said; “Whoever changes his deen , kill him.” The verse in which Allah (SWT) says “There is no compulsion in the deen,” (TMQ 2:256) does not apply to this type of freedom for the verse means that no one will be forced to embrace Islam but when hedoes he cannot apostatise, otherwise he would be killed as mentioned in the hadith. 3. The Freedom of ownership : from which the capitalist economic system was derived has no place in Islam either, for Islam has decreed the purposes for lawful ownership and the forbidden means of ownership. Islam has forbidden usury, gambling, monopoly, prostitution, amusement centres etc. 4. Personal freedom : This freedom which lead to social decline and immorality in the west is clearly at the root of the rottenness of the Western culture which allows whims and animal desires to run loose, whereas Islam has determined the behaviour of humankind and laid down some restrictions to regulate and balance his instincts, thereby commanding him to satisfy his instincts and organic needs according to Shari‘ah rules. This is where Islam manifests its total adversity to the concept of democracy and freedom. Furthermore attention should be drawn to the delusion that Muslims will achieve Islamic rule by democratic means, which the kufr (disbelieving) West have exported to Muslim countries in order to destroy Islam and stop the Islamic campaigners in their tracts lest they seize power and Islam regains ruling. Democracy was introduced to the Islamic world when the Western countries met in Berlin to dismember the Ottoman state at the end of the 19th century, thus making sure that the Muslim world would never be able to establish the Islamic rule. There are many examples to back this fact, the latest of which is Algeria where everyone witnessed how the West responded, when they saw the Islamic campaigners winning the majority of the votes they instructed their collaborators in the armed forces to stage a coup to preserve the ‘democratic course’ as they claimed, in other words to preserve the kufr (non Islamic) regime and prevent the Muslims seizing power. Their hypocrisy knew no bounds. Mitterand said at the time that France was willing to intervene militarily if the Muslims seized power. Meanwhile in Turkey Mandris used Islamic slogans to gather support for his campaign, he won a sweeping majority in parliament which would have enabled him if he wished to change the constitution, that was according to the rules of the country. The west was fearful of the return of Islam to the political scene, for this would encourage people to proclaim more, the West therefore encouraged its collaborators in the army to stage a coup in 1960, this lead to the downfall of Mandris. He was judged and executed and secularism and Kemalism (attributed to Mustapha Kemal’s revolution), was preserved according to the West. The west also moved in 1980 and staged a coup with the help of their collaborators in the wake of Kenyan demonstration where people called for Islam. Therefore Muslims must distance themselves from the democratic illusion and abandon the idea of calling for Islam through democracy. for aswell as being a concept that contradicts Islam and a formidable obstacle for the Muslims from ruling, it is a concept that the west have conjured, the west that destroyed the Islamic state, worked and still is working towards preventing the return of the Islamic state. Islam has a specific method brought to us by revelation, which must be followed in order to re-establish the Islamic rule. Therefore the Islamic campaigners must learn and adopt the method of the Messenger of Allah (SAW) and abide by it, for it is the correct and only method that must be followed, they should work towards eradicating the misconceptions of democracy and freedom from Muslims’ minds and sentiments and implant the concept of the necessity of abiding and adhering to the Shari‘ah of Allah (SWT) as individuals in their day to day lives, as a society and as a state. Therefore, it is to the method of the Messenger of Allah that we invite all Muslims to work towards establishing the Khilafah. And Allah helps those who struggle for his cause. ********** ‘Al Junnah – The Shield’ is an Islamic political magazine published by the team from KhilafahConcepts.com. Our global contributors focus on the political news and issues pertaining to the Muslim ummah & the Islamic revival around the world. While AlJunnah.com is the presentation platform, KhilafahConcepts is where the analysis, design, editing and publishing takes place. Volunteer: Join the Dawah. If you can contribute in form of writing, analysis, graphic designs, video presentations please join us. KhilafahConcepts.com – Join the Revival Share this Print Email Digg Facebook Twitter Like this: Like Be the first to like this post. Label: Al-Junnah.com, democracy, democrazy, islam, khilafah, Khilafah Concepts, The Shield, the truth about democracy
Ilusi Demokrasi Secara teori demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang memberikan kesetaraan (equality) kepada siapapun untuk mengatur pemerintahan baik secara langsung atau melalui perwakilan. Hal ini karena demokrasi menghormati dan menjamin terwujudnya kebebasan setiap orang untuk berbuat (freedom of behaviour), beragama (freedom of religion), berpendapat (freedom of speech) dan memiliki (freedom of property). Salah satu bentuk kebebasan tersebut adalah kebebasan dalam menetapkan aturan dan perundang-undangan. Tak aneh, dalam demokrasi aturan apapun dapat berubah jika para legislator menghendakinya. Penetapan aturan bukan lagi didasarkan pada agama, sebab agama dalam demokrasi bukanlah standar kebenaran, bahkan ia harus dijauhkan dari ranah politik. Standar kebenaran demokrasi adalah suara terbanyak. Meski di dalam demokrasi terdapat pembagian kekuasaan yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagaimana yang diajarkan oleh John Locke dalam “Two Treeties of Goverment” (1690) dan Montesquieu dalam l’espirite des lois (1748), namun tetap saja keadilan dan kesejahteraan yang diharapkan tidak pernah tercapai. Yang terjadi justru monopoli kekuasaan dan kekayaan oleh segelintir orang sementara angka kemiskinan, penindasan dan berbagai kejahatan sosial makin tinggi. Ini karena berbagai aturan yang digunakan merupakan produk akal yang bersifat nisbi. Sejumlah karya dan riset ilmiah yang mengkaji dampak penerapan demokrasi dalam kehidupan manusia, telah membuktikan hal tersebut. Dari riset-riset tersebut ditemukan beberapa hal antara lain: Demokrasi telah membuat orang-orang yang memiliki kekuasaan dan orang -orang kaya semakin menonjol sementara orang miskin dan lemah makin terpuruk dalam kehidupan. Sebagai contoh dalam laporan Departemen Pertanian AS (1999) dengan judul “A Citizen’s Guide To Food Recovery” dinyatakan bahwa dari 1/5 penduduk AS yang membuang sisa makanan mereka setiap tahun nilainya mencapai 31 miliar dollar. Padahal jumlah tersebut cukup untuk memberi makan 49 juta jiwa atau dua kali lipat dari jumlah orang yang meninggal tiap tahunnya akibat kelaparan. Demokrasi telah membolehkan orang untuk melakukan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Untuk menguasai minyak dan gas Irak, yang merupakan penghasil minyak terbesar ke-2 setelah Arab Saudi dan penghasil gas terbesar dunia, AS tidak segan menginvasi negara tersebut. Kekuasaan dimonopoli oleh mereka yang memiliki kekuatan dan kekayaan dan terus dimanfaatkan untuk mengakumulasi kekayaan dan memperluas pengaruh meski mengakibatkan kematian dan melukai banyak orang. Haiti misalnya pulahan tahun sebelumnya mampu memenuhi 95% kebutuhan berasnya. Namun setelah mendapatkan hutang dari IMF, negara tersebut disyaratkan untuk menurunkan tarif impornya yang sebelumnya 35%. Akibatnya kini negara tersebut dibanjiri 75% beras impor dari AS. Angka kemiskinan dan kekurangan pangan di negara tersebut melonjak hingga hampir mencapai 50%. Polusi merupakan konsekuensi logis dari demokrasi yang mendorong manusia tamak dalam berproduksi. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Global Warming International Centre (GWIC), hingga kini misalnya AS sebagai negara industri terbesar enggan meratifikasi protokol Kyoto meski negara tersebut merupakan negara penghasil emisi gas terbesar di dunia sebesar 36.1%. selain itu negara tersebut juga menyumbang 25% seluruh emisi karbondioksida. Padahal penduduk negara tersebut hanya 4% dari populasi dunia . Demokrasi telah melegalkan hubungan sesama jenis. Pernikahan sesama jenis baik antara laki-laki (homoseksual) maupan sesama jenis perempuan (lesbian) telah dilegalkan di sejumlah negara meski ditentang oleh para pemuka agama. Demokrasi telah mendorong manusia untuk menghabiskan waktunya untuk kesenangan dan foya-foya. Sebagai contoh berdasarkan hasil riset Nielsen Media Research (1999) ditemukan bahwa setiap harinya rata-rata orang AS menghabiskan 3 jam 46 menit hanya untuk menonton tv equivalen dengan 52 hari dalam setahun menonton tayangan tv secara non-stop. Jika usia seseorang 65 tahun maka 9 tahun usianya digunakan untuk menonton tv. Demokrasi dengan prinsip kebebasannya telah melahirkan hak untuk merusak moral manusia melalui sin of city (kota yang bertabur dosa) seperti pelacuran dan minuman keras. Global Issue melaporkan pada tahun 1998 saja belanja penduduk AS untuk minuman keras sebesar 105 miliar dollar. Demokrasi telah melegalkan perang yang menghabiskan triliunan dolar dalam rangka mempertahankan gaya hidup pendukungnya. Perang Irak misalnya sebagaimana yang dilaporkan oleh Stiglitz telah menghabiskan lebih dari 3 triliun dollar. Demokrasi telah mendorong manusia untuk menciptakan berbagai jenis produk-produk keuangan untuk memuaskan ketamakan mereka meski menghancurkan sendi-sendi perekonomian. Perbankan ribawi, mata uang kertas dan pasar derivatif (CDO, MBS, dll) adalah contohnya. Akibat terlibat dalam transaksi subprime mortgage, nilai kekayaan Citigroup merosot dari 225 miliar dollar (kwartal II-2007) AS menjadi hanya 19 miliar dollar pada 20 Januari 2009. Akibatnya pemerintah AS, negara-negara Eropa melakukan bail out (suntikan dana) dengan menggunakan uang hasil pajak rakyatnya. Dengan fakta tersebut, seharusnya manusia yang berakal menyadari bahwa demokrasi tidak seindah teorinya. Inilah ilusi demokrasi. Kontradiksi Demokrasi dengan Islam Folks populi folks dei. Suara rakyat adalah suara tuhan. Demikian salah satu adagium dalam demokrasi. Dalam sistem ini manusia ditempatkan sejajar dengan tuhan. Sebuah pengingkaran terhadap Aqidah Islam. Dengan mencermati realitas pemikiran dan praktek demokrasi, maka disimpulkan bahwa ide tersebut sangat kontradiktif dengan Islam. Hal ini didasarkan pada sejumlah alasan, antara lain: Pertama, Demokrasi adalah sistem kehidupan yang dirancang dan dibuat oleh akal dan hawa nafsu manusia. Sementara Islam adalah sistem kehidupan yang berasal dari Allah Swt, diturunkan untuk seluruh manusia. Hanya dengan Islam, manusia mendapatkan ridhai-Nya. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu (QS al-Maidah [5]: 3) Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS Ali Imran [3]: 85). Kedua, Dalam demokrasi, otoritas membuat undang-undang berada di tangan rakyat. Kemudian secara praktis, otoritas itu dilimpahkan kepada parlemen yang dianggap menjadi representasi rakyat. Sedangkan dalam Islam, satu-satunya yang berhak menetapkan undang-undang adalah Allah Swt. Konsekuensinya, seluruh hukum yang berlaku wajib bersumber dari wahyu (al-Quran dan al-Sunnah, serta yang ditunjukkan oleh keduanya, yakni Ijma’ Sahabat dan al-Qiyas). Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik (QS al-An’am [6]: 57). Menurut As- Syaukany di dalam Fathul Qadir, ayat diatas bermakna tidak satupun hukum yang ada tentang sesuatu kecuali berasal dari Allah swt. Di samping itu terdapat sejumlah ayat yang mencela pembuatan hukum dari selain Allah swt. Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan (QS al-Taubah [9]: 31). Menurut At Thabary asbabu an-nuzul ayat ini berkenaan dengan kisah Adiy bin Hatim: Dari Adiy bin Hatim ia berkata: “Saya mendatangi Rasulullah saw sementara di leher saya tergantung salib yang terbuat dari emas.” Beliau bersabda: “Wahai Adiy, buang sesembahan itu dari lehermu.” Saya pun membuangnya. Setelah itu saya menemuinya lalu beliau membaca surah Baraah: “Mereka menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” Saya kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, kami tidak menyebahnya. Beliua menjawab: bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah lalu kalian mengharamkannya. Mereka juga menghalalkan apa yang diharamkan Allah lalu kalian menghalalkannya? Saya menjawab: betul. Beliau berkata: “demikianlah bentuk ibadah mereka.” (Tafsir at-Thabary vol.21 hal.210). Ketiga, Metode dalam penetapan hukum. Dalam demokrasi, semua keputusan hukum diputuskan berdasarkan suara terbanyak. Setiap perbedaan dan perselisihan, diselesaikan dengan jalan voting (pemungutan suara) ataupun lobi. Sedangkan dalam Islam, semua keputusan hukum berdasarkan pada dalil syara’. Perbedaan pendapat dalam masalah hukum harus diselesaikan oleh imam dengan jalan mengambil hukum yang paling kuat dalilnya. Di dalam Al Quran dijelaskan bahwa setiap perkara yang diperselisihkan wajib dikembalikan kepada al-Quran dan as-Sunnah.hai oraang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS al-Nisa’ [4]: 59). Menurut Ibnu Katsir ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak berhukum merujuk kepada Al Quran dan as-Sunnah dan merujuk pada keduanya dalam perkara yang diperselisihkan maka ia tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir (Tafsir Ibnu Katsir, vol. 2 hal, 346). Hal senada dinyatakan oleh al-Khazin bahwa ulama ayat ini menjadikan ayat ini sebagai dalil orang-orang yang tidak meyakini wajibnya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mengikuti sunnah dan hukum yang berasal dari Nabi saw bukanlah orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir (Tafsir al-Khazin vol.2 hal.120) Syura dan Pengambilan Pendapat Perintah untuk melakukan syura seringkali dijadikan sebagai alasan bolehnya praktek demokrasi sebab di dalamnya berbagai perkara didiskusikan dan dimusyawarahkan. Allahswt berfirman: Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka (QS al-Syura [42]: 37-38). Memang Allah swt di dalam ayat ini memuji orang-orang beriman yang memusyawarahkan masalah mereka. Namun redaksi sebelumnya menunjukkan bahwa mereka itu juga menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji. Jika dikaitkan dengan ayat-ayat terdahulu nampak bahwa dalam membuat hukum merupakan prerogatif Allah dan melanggarnya merupakan dosa besar bahkan dapat dikategorikan kufur jika ia meyakininya. Jadi orang-orang yang beriman tentu tidak akan memusyawarahkan kelayakan hukum Allah dalam musyawarah mereka. Dalam kehidupan manusia, pengambilan pendapat tidak lepas dari empat jenis perkara yaitu : (a) perkara yang berkaitan dengan hukum syara’, (b) perkara yang membutuhkan sebuah keahlian atau pemikiran suatu bidang tertentu, (c) perkara yang berkaitan dengan amal yang telah yang dibenarkan oleh syara’ dan tidak membutuhkan keahlian khusus, dan (d) perkara yang berkaitan dengan penetapan definisi (terminologi) suatu fakta. Dalam perkara hukum syara’ maka setiap keputusan yang diambil harus didasarkan pada kekuatan dalil. Pada saat perjanjian Hudaibiyyah, Rasulullah saw mendasarkan diri pada wahyu seraya menolak pendapat lainnya. Ketika sebagian sahabat mempertanyakan keputusan beliau, beliau bersabda:ِ Sesungguhnya aku adalah rasul Allah. Aku tidak bermaksiat kepada-Nya, dan Di adalah Penolongku (HR Bukhari dan Ahmad) Rasulullah saw tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan suara terbanyak. Dalam banyak kasus, -seperti persoalan pembagian waris dan ghanimah, khamr dan judi, dan sebagainya- beliau pun menunggu keputusan wahyu untuk menetapkan hukum suatu persoalan yang ditanyakan oleh para sahabat. Untuk perkara yang membutuhkan keahlian bidang tertentu Keputusan diambil berdasarkan pendapat yang tepat atau shawab. Hal ini didasarkan pada kisah perang Badar dimana Rasulullah saw mengambil pendapat al-Hubbab bin al-Mundzir karena pendapat tersebut dinilai tepat. Ketika itu, al-Hubbab dikenal ahli strategi perang dan amat memahami kondisi Badar. Ketika al-Hubab bertanya, apakah keputusan Rasulullah itu berasal dari wahyu atau pendapatnya sendiri, Rasulullah saw bersabda: َ Ini adalah pendapat (ku), taktik perang, dan siasat (Sirah Ibnu Hisyam). Sementara dalam perkara amal yang dibenarkan syara’ dan tidak membutuhkan keahlian maka keputusan diambil dari suara terbanyak. Pada Perang Uhud, Rasulullah saw mengambil pendapat mayoritas kaum muslimin yang menginginkan menyongsong musuh ke luar kota, meskipun beliau sendiri pada awalnya menginginkan bertahan di dalam kota. Hal ini bukan berkaitan dengan hukum atau keahlian dalam bidang tertentu, namun berkaitan dengan suatu aktivitas bersama yang hendak dilakukan terlihat dari ucapan Rasulullah saw kepada Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab. Beliau bersabda:َ Andai kalian berdua telah bersepakat dalam suatu musyawarah, aku tidak akan menyalahi kalian berdua (HR Ahmad). Sementara dalam penetapan definisi (terminologi) seperti definisi akal dan masyarakat, maka pendapat yang dipilih adalah definisi yang paling sesuai dengan realitas yang didefinisikan. Oleh karena itu tidak diperlukan dalil syara’ ataupun suara mayoritas. Produk Hukum Parlemen Satu pertanyaan yang cukup aktual saat ini adalah bagaimana jika parlemen dalam sistem Demokrasi bersepakat mengambil sebagian hukum syara’ sebagai undang-undang. Apakah ia termasuk hukum syara yang wajib ditaati? Menurut beliau hal tersebut tidak dapat dikatagorikan sebagai amal yang menjalankan syariah, sebab pelaksanaan syariah didasarkan kepada ketaatan dan ketundukan terhadap syariah, semata untuk mencari ridha Allah. Oleh karena apabila pelaksanaan syariah itu didasarkan pada motivasi selainnya, seperti karena unsur manfaat, kepentingan, atau kesepakatan, maka tidak dapat dikatagorikan sebagai ketaatan terhadap syariah. Hal ini didasarkan pada sejumlah dalil antara lain: Pertama, sifat orang mukmin terhadap syariah adalah mendengar dan taat sebagaimana yang dinyatakan Allah swt:Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS al-Nur [24]: 51). Lain halnya dengan sifat orang munafik terhadap syariah yang menolaknya kecuali jika menguntungkan dirinya. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku dzalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang dzalim (QS al-Nur [24]: 48-50). Kedua, Hanya Allah swt yang merupakan pembuat hukum dan Ia telah menetapkan hukum yang wajib untuk diamalkan bukan untuk didiskusikan lagi. “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan sejumlah kewajiban maka janganlah kalian mengabaikannya dan menetapkan aturan-aturan maka janganlah kalian melanggarnya.” (H.R. Daruqutny) Ketiga, Allah swt telah mewajibkan berhukum dengan syariah dan tidak mengikuti hawa nafsu manusia. Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS al-Maidah [5]: 48). Keempat, hukum yang dihasilkan oleh parlemen pasti hasil kompromi dan akomodasi dari berbagai kepentingan dan kelompok. Padahal Allah Swt melarang kaum Muslim berkompromi dalam masalah aqidah dan hukum. Allah Swt berfirman: Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu) (QS al-Qalam [69]: 9). Oleh karena itu, mustahil berharap kepada demokrasi untuk menerapkan syariah, karena prinsip dasar demokrasi bertentangan dengan Islam. Lebih dari itu, demokrasi adalah sistem kufur yang haram bagi kaum Muslim mengambil, menerapkan, dan menyebarluaskannya. WaLlahu a’lam bishawab Tags: si Prev: " Demokrasi Mengokohkan Sekularisme "
Demokrasi, Duit Jadi Kendali Ya itulah hakikat demokrasi, duit menjadi episentrum kendali tingkah laku para politikus. Cuma yang ngomong sekarang itu di antara sekian para pelakunya sendiri. Fakta nyata, para pejabat politik tersandera oleh kepentingan dan uang, tabiat sistem demokrasi adalah transaksional kepentingan dari para politikus busuk dan pemegang modal. Dan ini bukan kasuistis, tapi kultur/budaya politik produk dari sistem bobrok ini. Nazaruddin, salah satu pelaku dan korban dari sistem demokrasi, ketika menyatakan yang menang itu bukan demokrasi tetapi duit itu menunjukkan bahwa dia dalam posisi terpojok. Dia dalam posisi bermasalah, di sisi lain dia juga tidak bisa memungkiri rasa getir atas realitas kemunafikan yang terjadi dalam politik demokrasi. Jika dia tidak dalam posisi terpojok, belum tentu dia akan mengeluhkan sistem yang hipokrit ini. Tidak ada negara di muka bumi makmur, sejahtera, dan adil lahir batin serta meliputi aspek dunia dan akhirat dengan demokrasi. Pengagum demokrasi selalu menyebut negara Skandinavia sebagai contoh ideal pelaksanaan demokrasi, karena melahirkan kemakmuran dan kesejahteraan, tapi aspek moral yang bobrok tidak pernah mereka ungkap. Apalagi Amerika Serikat, kampium demokrasi saat ini dalam kondisi sekarat dihantam badai krisis permanen dan periodik dari ideologi kapitalis yang dianutnya. Umat Islam pun tidak sedikit yang larut dalam demokrasi. Di antara faktornya adalah pertama, karena lemahnya pemahaman umat Islam pada wilayah prinsip. Mana perkara yang boleh diambil dan tidak, umat lemah untuk bisa memilah perkara yang sesuai dengan akidah dan syariahnya. Kedua, gencarnya propaganda Barat mempromosikan demokrasi di dunia Islam yang akhirnya umat tersesatkan bahkan kemudian apologis mencampuradukkan produk ideologi Barat kapitalis-sekuler itu dengan dimuka bumi makmur, sejahtera, dan adil lahir batin serta meliputi aspek dunia dan akhirat. Ketiga, pendidikan terhadap umat Islam yang sekuler makin mengokohkan prinsip-prinsip kehidupan politik untuk umat Islam makin jauh dari Islam Ideologi. Akhirnya “latah demokrasi” menjadi lazim di sebagian besar umat Islam termasuk politikus yang mengklaim dirinya memperjuangkan Islam.[mediaumat] Diposkan oleh Hasan di 12/13/2011 0 komentar Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook Link ke posting ini Reaksi: Kamis, 08 Desember 2011 Katanya demokrasi, tapi ko'??... Kapitalisme benar-benar telah ambruk, ide kebebasan benar-benar telah runtuh. Negara yang senantiasa menggemborkan kebebasan dan demokrasi pun akhiranya menutup kran kebebasan para pengunjuk rasa yang mengungkap kebobrokan sistem yang diterapkan. Polisi AS membongkar lebih dari 100 tenda di kamp Pendudukan di San Fransisco, menangkap lebih dari 50 pengunjuk rasa yang menolak untuk meninggalkan tempat itu. Puluhan mobil polisi, pemadam kebakaran mengelilingi daerah tersebut, sementara lebih dari 200 polisi anti huru-hara menyerbu perkemahan di Justin Herman Plaza sekitar jam 02.00 pagi pada hari Rabu. Ratusan pengunjuk rasa Kamp San Fransisco adalah perkemahanan Occupy terbesar terakhir yang dibangun setelah polisi membongkar tenda di kota Los Angeles dan Philadelphia pekan lalu. Mereka membangun tenda-tenda di tempat itu serta menyampaikan pesan-pesan yang mengungkap realitas kenyataan akibat kerusakan sistem kapiltaisme. Beberapa tenda bertuliskan pesan, "Occupy SF, We are the 99%", menunjukkan wajah kapitalisme sesungguhnya di mana para penguasa lebih menguataman para pemilik kekayaan yang hanya 1% saja, sementara 99% rakyat ditelantarkan. Menurut polisi, lebih dari 50 pengunjuk rasa ditangkap dan dua petugas diserang selama penyerbuan. Beberapa pengunjuk rasa kembali ke daerah itu dan dilaporkan berencana untuk mendirikan kamp-kamp di tempat lain. Polisi AS telah bergerak untuk menghancurkan perkemahan gerakan Occupy di kota-kota besar selama beberapa pekan terakhir, melakukan penyerangan brutal, dan menangkap puluhan pengunjuk rasa. Gerakan Occupy Wall Street mulai terjadi ketika sekelompok demonstran berkumpul di distrik keuangan New York pada 17 September untuk memprotes distribusi kekayaan yang tidak adil di negara itu dan pengaruh yang berlebihan dari perusahaan-perusahaan besar pada kebijakan AS. Meskipun tindakan keras polisi dan penangkapan massa, gerakan Occupy tumbuh dan berkembang di luar Occupy Wall Street, kini telah menyebar ke banyak kota-kota besar di Amerika Serikat serta negara-negara kapitalisme lainnya seperti Australia, Inggris, Jerman, Italia, Irlandia dan Portugal. Demikianlah, rakyat di negara-negara Kapiltalisme mulai merasakan ide busuk sesungguhnya dari Kapitalisme yang lebih mementingkan para kapital, pemilik modal, daripada rakyat. Ini mestinya menjadi pembuka pikiran umat, bahkan sistem kapitalisme tidak akan pernah menyejahterakan rakyat, selain segelitin para pemilik kekayaan yang berkolaborasi dengan para penguasa. Dunia kini menantikan sistem baru yang benar-benar akan melayani rakyat dan menyejahterakan rakyat bukan sistem yang hanya melayani kepentingan para pemilik modal dan para penguasa negara adidaya. Sistem itu tentu saja bukan demokrasi, tetapi dunia menanti sistem Khilafah yang akan menerapkan syariah dan mengelola sumber daya alam dengan syariah hingga menyejahterakan rakyat secara nyata. Insya Allah, semakin dekat, dan kini benderanya terus berkibar di seluruh dunia. [m/f/prstv/syabab.com] Diposkan oleh Hasan di 12/08/2011 0 komentar Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook Link ke posting ini Reaksi: Minggu, 09 Oktober 2011 Perang Melawan Terorisme Sesungguhnya saat ini tengah terjadi upaya-upaya pendiskreditan dan penghancuran gerakan Islam. Apa yang disebut oleh Amerika Serikat sebagai The Global War Againts Terrorism hanyalah kedok belaka untuk memerangi gerakan-gerakan Islam di berbagai negeri muslim. Buktinya, Pertama, pemerintah Amerika Serikat hanya memaknai terorisme kepada orang dan kelompok yang dalam prinsip dan kegiatannya tidak sesuai dengan kepentingan Amerika Serikat. Sementara, meski Israel terang-terangan melakukan kekerasan, membantai dan mengusir penduduk Palestina hingga detik ini, bahkan Amerika Serikat secara sangat brutal mengagresi Irak, tidak disebut melakukan terorisme. Amerika Serikat juga tidak berusaha menangkapi tokoh-tokoh seperti Yisthak Rabin, Ariel Sharon dan presidennya sendiri, Bush, yang telah memerintahkan penyerangan terhadap Irak. Kedua, pada kenyataannya perang melawan terorisme memang ditujukan pada gerakan Islam. Korban telah berjatuhan. Di samping Afghanistan dan Irak yang telah diserang habis oleh Amerika Serikat, atas nama memerangi terorisme, juga terjadi penangkapan-penangkapan aktivis gerakan-gerakan Islam di berbagai negara. Di Uzbekistan, lebih dari 7000 anggota gerakan Islam ditangkap, dipenjarakan, disiksa dan sebagiannya syahid padahal mereka tidak melakukan tindakan kekerasan. Begitu juga di Azarbeijan, Tajikhistan, Kirgystan, Mesir, Pakistan dan negeri-negeri muslim lain. Menambah upaya-upaya yang dilakukan AS sebelumnya, seperti ditangkapnya Umar al-Faruq, Agus Budiman, Fathurrahman al-Ghazi, Agus Dwikarna, dan sejumlah warga negara Indonesia lain, pemerintah AS seolah ingin menunjukkan kepada dunia internasional bukti bahwa Indonesia benar-benar telah menjadi sarang teroris, serta bualan mereka tentang terorisme dan jaringannya di negeri ini adalah benar, sehingga kampanye perang global melawan teroris (the global war againts terrorism) termasuk di Indonesia merupakan sebuah kemestian. Yang dikehendaki oleh AS atas pemerintah Indonesia agaknya dapat dicapai. Pemerintah Indonesia segera mengeluarkan Perpu Anti Teroris, Abu bakar Baasyir yang memang sudah lama diincar akhirnya ditangkap, serta terciptanya stigma negatif terhadap gerakan Islam terutama setelah Jamaah Islamiyyah (JI) dinyatakan sebagai teroris. Stigma negatif diperlukan untuk menekan perjuangan Islam yang melalui angin reformasi terus tumbuh serta menakut-nakuti umat Islam Indonesia tentang apa yang mereka sebut bahaya militansi Islam. Langkah berikutnya yang akan dilakukan oleh AS adalah memasukkan tokoh-tokoh yang sudah lama diincar sebagai anggota JI agar tampak absah bila nantinya ditangkap. Bila benar semua itu nanti terjadi, maka cita-cita AS untuk menyapu habis gerakan Islam dengan menjebloskan tokoh-tokohnya ke penjara bakal memetik sukses besar. Mengapa AS melakukan itu semua? Amerika Serikat melakukan itu semua untuk melanggengkan dominasi politik dan ekonominya atas dunia Islam, termasuk di Indonesia, yang secara geopolitik memang sangat strategis dan secara ekonomis sangat kaya. Amerika Serikat melihat bahwa ancaman atas dominasi itu, setelah era perang dingin, potensial datang dari umat Islam yang memiliki kesadaran politik, bahwa syariah Islam adalah satu-satunya solusi bagi segenap problematika kehidupan dan perjuangan bagi tegaknya syariah wajib adanya demi tegaknya kembali izzul Islam wal muslimin. Dengan demikian, perang global melawan terorisme hanyalah cerita bualan AS agar semua langkah-langkah politiknya demi melanggengkan dominasinya di dunia Islam dan menghentikan laju pertumbuhan gerakan Islam itu tampak absah di mata dunia internasional. Menanggapi semua itu Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan: 1. Menolak keras setiap upaya busuk penggiringan opini internasional yang digalang oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya seperti Inggris, Singapura, Philipina, Australia untuk menyudutkan Islam yang diidentikkan dengan terorisme. Sesungguhnya Islam datang untuk membawa rahmat. Justru imperialisme atau penjajahan dengan segala bentuknya, dimana Amerika Serikat sebagai aktor utamanya, itulah yang selama ini telah membawa kesengsaraan pada bangsa-bangsa di dunia. 2. Meminta pemerintah Indonesia untuk tidak meladeni provokasi AS serta mengambil langkah-langkah diplomatik penting guna menghindari tekanan AS dan membebaskan peradilan dari tekanan politik terutama dari pihak-pihak luar negeri. 3. Menyerukan kepada umat Islam di mana pun berada untuk meningkatkan keteguhan iman, persaudaraan, persatuan dan solidaritas ummat guna menghadapi fitnah dan provokasi keji AS, serta menyerukan kepada ummat Islam untuk bangkit dan bersatu menegakkan kembali khilafah Islamiyyah yang akan menjaga setiap jengkal negeri Islam, melawan imperialisme dan mewujudkan kembali izzul Islam wal muslimin. (Pernyataan Sikap JUBIR HTI) Diposkan oleh Hasan di 10/09/2011 0 komentar Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook Link ke posting ini Reaksi:
Apakah Demokrasi Sejalan Dengan Islam? 0 Garnizun Abu Askar AlFatih | 10:40 | ac-DEMOKRASI SISTEM KUFUR Jangan Samakan Diriku Yang Manusia Dengan Seekor Monyet Perbedaan Manusia Dengan Monyet: Manusia=Monyet? Monyet=Manusia? Saya ingin menjelaskan pendapat saya melalui cerita, semoga lebih mudah dipahami dengan lebih "soft". Selamat menyimak. Seorang Murid bertanya kepada Gurunya. Murid : Pak Guru, saya sedang bingung Nih Guru : Emang bingung kenapa? Murid : Teman-teman saya berbeda pendapat tentang demokrasi. Yang satu mengatakan bahwa demokrasi sejalan dengan Islam, pendapat yang lain mengatakan bahwa Demokrasi bertentangan dengan Islam. Mana yang benar? Guru : Kalau menurut kamu sendiri mana yang benar demokrasi sejalan dengan Islam, atau bertolak belakang dengan Islam. Murid : Kalo menurut saya Pak guru, demokrasi sama dengan Islam. Guru : Kenapa? Murid : Dalam demokrasi ada pemilu, di dalam islam juga ada. Guru : Terus? Murid : Dalam demokrasi ada musyawarah sama dengan Islam. Guru : Terus apa lagi? Murid : Dalam demokrasi ada wakil rakyat (DPR), di dalam Islam ada Majelis Wilayah (setingkat DPRD) dan Majelis Umat (seperti DPR). Guru : Ada lagi? Murid : Dalam demokrasi yang menentukan seseorang jadi penguasa atau tidak adalah rakyat sama seperti dalam Islam. Guru : Terus dengan adanya persamaan-persamaan tersebut kamu menyimpulkan demokrasi = Islam atau demokrasi tidak bertentangan dengan Islam? Murid : Ya pak Guru . Guru : Sekarang giliran pak Guru yang bertanya. Mau tidak kamu disamakan dengan monyet? Murid : Ya Gak mau dong pak guru ! Guru : Looooh. kan sama-sama punya mata, sama-sama punya telinga, jumlah kaki dan tangannya sama, bentuknyapun mirip. kenapa tidak mau disamakan dengan monyet? Murid : Ya, meskipun dalam beberapa hal ada persamaan, monyet adalah binatang sementara kita adalah manusia. Monyet tidak punya akal, sementara kita punya Pak guru. Guru : Jawabanmu benar. Adanya persamaan tidak lantas membuat dua hal yang memiliki persamaan kemudian dikatakan sama. Demikian juga halnya Islam dengan demokrasi. Manusia ibarat Islam, demokrasi ibarat monyet. Benar bahwa dalam Islam dan Demokrasi ada pemilu, tapi ingat di dalam Islam siapapun yang terpilih aturan yang diterapkan adalah aturan ALLAH. Sedangkan dalam demokrasi Syariat Islam adalah Pilihan, bahkan faktanya ketika partai Islam yang mengusung syariat Islam memenangkan pemilu akan digagalkan sedemikian rupa. Benar bahwa dalam demokrasi dan Islam ada wakil rakyat, namun wakil rakyat di dalam Islam tidak membuat hukum, tidak menentukan halal-haram, wakil rakyat di dalam Islam (Majelis wilayah dan majelis umat) hanya melakukan aktivitas memberikan pendapat dan muhasabah terhadap kebijakan penguasa. Benar bahwa penguasa dalam demokrasi dan Islam diangkat oleh rakyat, namun dalam demokrasi penguasanya bernama presiden di dalam islam namanya kholifah. Dan metode pengangkatannya adalah adalah dengan baiat. Benar pula bahwa di dalam demokrasi dan Islam dikenal musyawarah. Namun di dalam demokrasi semua hal bisa dimusyawarahkan sementara di dalam Islam yang bisa dimusyawarahkan adalah hal-hal yang mubah. dan didalam Islam ada kalanya musyawarah tidak dipakai ketika wahyu sudah menetapkan. Lihatlah bagaimana rosul tidak mempedulikan pendapat kaum muslimin ketika terkait pernjanjian hudaibiyah. dan satu hal terpenting sebagaimana "akal" yang membedakan manusia dengan monyet. Bahwa di dalam Islam, sesuatu yang boleh tidak akan pernah berubah menjadi terlarang seperti dalam demokrasi. Didalam Islam menikah dengan perempuan berusia 12 tahun adalah boleh sementara dalam demokrasi bisa tidak boleh (haram), di dalam Islam poligami selamanya mubah, tapi dalam demokrasi bisa menjadi terlarang, Sementara mendirikan tempat perzinahan/pelacuran terbesar se-Asia Tenggara yaitu Doli diSurabaya dalam Demokrasi diperbolehkan sedang hukum Allah sangat melaknatnya bahkan orang yang berzina 40 radius rumahnya akan kecipratan dosanya semua walaupun tidak tahu, di dalam Islam meminum khamer adalah terlarang sedikit maupun banyak, dalam demokrasi bisa menjadi boleh, bahkan berdirinya pabrik khamer adalah sebuah keniscayaan dengan izin dari anggota-anggota dewan. Jadi dalam hal ini anggota dewan dalam sistem demokrasi bisa bertindak sebagai Tuhan, yang menentukan boleh tidaknya sesuatu. Murid : Demokrasi bisa menempatkan manusia setara dengan Tuhan, sampai segitunya Pak Guru? Guru : Benar, Tidak boleh seorang muslim mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah atau menghalalkan apa yang telah diharamkan-Nya. Tentang hal ini, At-Tirmidzi, dalam kitab Sunan-nya, telah mengeluarkan hadits dari ’Adi bin Hatim –radhiya-Llahu ’anhu--- berkata: ’Saya mendatangi Nabi saw. ketika baginda sedang membaca surat Bara’ah: ”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam.” (TQS. At-Taubah [9]: 31) 'Adi bin Hatim (sahabat nabi yang dulunya orang nasrani) menyatakan bahwa orang-orang nasrani tidak tidak pernah menyembah orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka. kemudian Rosul bersabda: ’Mereka memang tidak beribadah kepadanya, tetapi jika mereka menghalalkan sesuatu untuknya, mereka pun menghalalkannya; jika mereka mengharamkan sesuatu untuknya, maka mereka pun mengharamkannya.” Jadi, menetapkan hukum yang tidak bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah adalah perbuatan yang bertentangan dengan akidah Islam, dan ini terjadi dalam sistem demokrasi. Bahkan dapat dikategorikan perbuatan menyekutukan Allah SWT. Seorang muslim wajib terikat kepada syariah Allah, wajib mengambil hukum dari wahyu Allah semata, dan menolak undang-undang atau peraturan buatan manusia yang bertentangan dengan hukum Allah SWT Murid : Jadi demokrasi berbeda dengan Islam dong Pak Guru. Guru : Ya, Islam dan demokrasi ibarat Manusia dan monyet, tidak bisa disamakan dan tidak akan pernah bisa disamakan! Murid : Ya......
Yunani Kuno, Plato (428-348 SM) pernah berkata: “bisa jadi demokrasi menjadi mimpi buruk dalam sistem pemerintahan”. Jika bapak Demokrasi sendiri mengatakan demikian, kenapa orang Islam membela mati-matian sistem kufur buatan kafir ini daripada sistem islam Khilafah yang menerapkan syariat Islam kaffah? By : Hana Annisa Sungguh miris ketika masih ada orang yang bangga menganut paham demokrasi, bahkan terang2an memperjuangkannya. Padahal sudah jelas bahwa demokrasi lah yang justu membuat kita (terutama umat Islam) semakin terpuruk dalam penderitaan yang berkepanjangan. Tidak arif rasanya ketika kita meneriakan “demokrasi sistem kufur!” tanpa kemudian memberikan argumentasi atasnya, hal ini juga yang diminta oleh salah seorang dosen saya. Oke Pak, ini saya jawab permintaan bapak… Mendengar kata demokrasi, seolah2 kesan yang tertangkap adalah bagus…”kebebasan, HAM, Toleransi antarumat beragama….” namun coba deh kita lihat sampai ke hakikatnya. Coz seorang muslim akan senantiasa menyandarkan segala perbuatan, perkataan, bahkan pemikirannya pada hukum Allah kan? Nah, jadi perspektif demokrasi yang akan saya tulis ini adalah menurut Islam. 1. Demokrasi bukan Lahir dari Islam Trus dari mana dong? Yups, Sekulerisme lahir pd zaman kegelapan Eropa, yakni ketika saat itu yang berkuasa adalah kaum gereja (Agama Nasrani). Saat itu pihak gereja (penguasa saat itu) senantiasa ‘mengisap darah’ rakyat dengan memungut pajak yang besar dari rakyatnya. Karena itulah, banyak yang akhirnya merasa terzhalimi. Kemudian muncullah kaum pemikir yang berusaha untuk mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Kemudian dicetuskanlah ide pemisahan agama dari kehidupan yang kemudian dikenal dengan sekulerisme. Ide tersebut lahir karena adanya anggapan jika agama dicampurkan dengan pemerintahan, penderitaan lah yang akan dialami rakyatnya. Sekulerisme inilah yang menjadi akidah demokrasi. Demokrasi sendiri lahir pada era yunani Kuno. Dan saat ini Islam pun termarginalkan karena dianggap sama dengan agama yang saat itu berkuasa (nasrani), yakni tidak dapat menyejahterakan jadi harus dipisahkan dari negara. Padahal jika saja kita mau jujur pada diri kita sendiri, Islam itu bukan hanya agama ritual, tetapi Islam adalah sistem hidup. Segala aspek kehidupan ada aturannya dalam Islam; ekonomi, politik, hukum, pendidikan, pertahanan, keamanan, dll. Jadi sebenarnya, Islam mampu menjawab tantangan untuk menyejahterakan rakyat. 2. Kekuasaan dan kedaulatan pun diserahkan sepenuhnya kepada rakyat, coz dengan begitu diharapkan rakyat akan memeroleh kesejahteraannya. Padahal dalam Islam, kedaulatan hanyalah milik Allah, bukan milik manusia (rakyat). Jadi, rakyat sungguh sama sekali tidak berhak membuat hukum, karena membuat hukum hanyalah hak Allah (TQS. Al-An’am:57). Dan jika diperhatikan pun, demokrasi tidak benar2 menampung aspirasi rakyat. Karena para wakil rakyat yang duduk di parlemen dn diharapkan mampu mewakilkan suara rakyat pada faktanya tidak pernah meminta persetujuan rakyat sebelum membuat hukum. Kasus Ahmadiyah sebagai contoh, MUI telah dengan tegas menyatakan bahwa aliran tersebut sesat, tetapi pemerintah tidak memberikan respon yang memadai. Perusak akidah umat itu tetap saja dibiarkan berkembang saat ini. Dan sebaliknya, ketika umat Islam meminta diterapkannya perda2 syariah, justru malah ditentang habis. Itukah demokrasi yang katanya menyejaterakan? Sudah jelas bahwa demokrasi tidak akan pernah memberikan kesempatan pada umat Islam untuk hidup di bawah hukum2 Allah. 3. Demokrasi bukanlah Syura’. Karena syura’ artinya meminta pendapat. Sebaliknya, demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang dan sistem (pemerintahan) 4. Demokrasi mengusung empat kebebasan; berpendapat, perkepemilikan, berperilaku, dan beragama. Hasilnya: Ahmadiyah dibiarkan berkembang dengan alasan kebebasan beragama, SDA Indonesia dikuasai asing dengan alasan kebebasan berkepemilikan, Pembuat karikatur Nabi Muhammad dibiarkan bebas karena adanya kebebasan berpendapat, Para pelaku Free Seks dibiarkan dan orang2 yang mengumbar aurat didiamkan karena alasan kebebasan bertingkah laku. IRONIS. Inikah negeri yang sejahtera itu? 5. Suara Mayoritas hanya Omong Kosong. Nyatanya yang didengar adalah suara orang2 berkuasa. Istilah pemerintahan rakyat hanyalah jargon yang sengaja dipropagandakan untuk menipu rakyat, agar mereka merasa ikut serta dalam menentukan arah pemerintahan dengan berpartisipasi dalam mekanisme demokrasi. Padahal nyatanya, yang diuntungkan hanyalah segelintir orang, terutama para pemilik modal dan para elit politik. Hh…demokrasi..demokrasi. …yang ditawarkan hanya ilusi.
Banyak orang berharap demokrasi mampu melahirkan kesejahteraan. Namun apa yang terjadi? Demokrasi justru mahal harganya, jauh dibandingkan dengan yang diperoleh rakyat dari sistem yang dipaksakan tersebut. Demokrasi telah melahirkan korupsi di mana-mana. Pasalnya, sistem ini 'mengharuskan' mereka yang ingin berkuasa untuk menyediakan biaya politik bagi kekuasaan yang akan diraihnya. Pemilihan secara langsung mewajibkan para kandidat penguasa dan wakil rakyat populer agar dipilih oleh rakyat. Hanya untuk sebuah kursi, miliaran rupiah dikeluarkan. Menurut informasi, calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota minimal harus menyiapkan dana sebesar Rp 5 milyar. Bahkan pasangan calon gubernurwakil gubernur Jawa Timur menghabiskan dana kampanye mencapai Rp 1,3 trilyun dalam pemilu kada 2008 lalu. Wow, ini tentu jumlah yang sangat besar. Pemerintah sendiri harus merogoh kas negara. Tahun 2010, negara mengeluarkan dana Rp 55 trilyun bagi 244 daerah yang menyelenggarakan pemilu kada. Bandingkan itu dengan kebijakan pembatasan subsidi BBM tahun 2011 ini gara-gara pemerintah merasa rugi karena menambah subsidi sebesar Rp 7-8 trilyun. Namun biaya politik yang begitu besar itu tak memperbaiki nasib rakyat. Bahkan impian terciptanya tata pemerintahan yang kian baik pun sekadar khayalan. Justru dengan sistem pemilihan langsung ini koordinasi pemerintahan makin kacau. Karena merasa dipilih langsung oleh rakyat, banyak kepala daerah yang mengabaikan penguasa di atasnya. Suatu ketika Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengundang seluruh bupati dan walikota, yang hadir hanya tiga orang. Hal yang hampir sama terjadi di daerah lain. Bahkan ada daerah yang sampai berebut wilayah dan aset. Anehnya, pemerintah di atasnya tak berkutik. Bukan tidak mungkin, kondisi ini akan memudahkan negeri ini dipecah belah oleh kekuatan asing dengan mengatasnamakan demokrasi. Ini jauh lebih mahal lagi! *Tabloid Media Umat Edisi Terbaru: 21 Januari - Februari 2011
Tiada Undang-undang Terhadap Gay: Satu Lagi Bukti Kebodohan Sistem Demokrasi Lewat tahun 2010, negara digemparkan dengan satu isu gay seorang lelaki muslim yang bernama Azwan Ismail. Lelaki gay ini tanpa segan silu menyatakan dirinya adalah lelaki gay di laman YouTube yang bertajuk 'Saya Gay, Saya OK'. Namun, disebabkan kebodohan dan kepincangan sistem demokrasi, penjenayah-penjenayah gay ini amat sukar untuk dibawa ke muka pengadilan, kerana undang-undang kufur daripada sistem demokrasi tidak memperuntukkan undang-undang untuk mendakwa golongan berhawa nafsu songsang ini. Namun begitu, masih ramai lagi umat Islam yang berharap kepada sistem ini, kononnya sistem inilah merupakan sistem yang terbaik. Ada juga berpendapat, umat Islam seharusnya mengambil demokrasi kerana ia bersesuaian dengan kehendak zaman. Ternayata demokrasi langsung tidak mengikut kehendak zaman dan bukan merupakan sistem yang terbaik. Lihatlah, isu gay ini pun sistem demokrasi tidak dapat memperuntukkan penyelesaian. Sebaliknya, Islam itu lengkap dengan penyelesaian apa jua masalah, tanpa tertinggal walaupun satu masalah. Bukan sahaja isu gay ini tidak dapat diselesaikan, malah, masalah ini pasti akan berkembang lagi kerana ketiadaan suatu sistem untuk menghalang daripada anasir jahat ini daripada terus disebarkan. Masakan tidak, dalam demokrasi, manusia menggunakan akal untuk menyelesaikan masalah. Di dalam parlimen, ahli-ahli parlimen menggunakan undi untuk menyelesaikan masalah walaupun ketetapan-ketetapan telah disediakan oleh Allah SWT. Adakah kita perlu mengundi untuk melaksanakan kewajipan solat? Adakah kita perlu mengundi untuk melaksanakan kewajipan puasa? Begitu juga dengan kewajipan penerapan sistem-sistem Islam. Adakah kita perlu mengundi supaya sistem Islam itu diterapkan? Hukum-hakam Islam itu haram untuk diundi, tetapi wajib untuk diterapkan! Oleh yang demikian, apa lagi yang kita harapkan daripada sistem demokrasi yang penuh dengan kepincangan ini? Bayangkanlah, bagaimana sekiranya abang atau adik kita yang terjebak dalam kancah gay?
Pemilu dalam demokrasi selamanya selalu memilukan. Rakyat selalu dihadapkan pada pemimpin-pemimpin yang tak berideologi Islam. Rakyat seakan diharuskan memilih pemimpin yang paling baik diantara yang buruk. Ya! Bagaikan memilih mangga yang baik diantara yang busuk di tong sampah. Sampai kapan?! Ironi sekali rakyat masih percaya pada demokrasi padahal mereka terus disakiti, dikhianati, dipinggirkan oleh pemimpin yang mereka pilih sendiri. Setiap pemilu selalu ada slogan perubahan, perubahan apa?. Setiap pemilu dijanjikan kesejahteraan rakyat, kesejahteraan siapa?. Faktanya yang berubah hanya pemimpin-pemimpin saja, sementara sistem masih sama : sekuler! Kesejahteraan yang dijanjikan kepada rakyat ternyata yang mereka sejahterkan hanya diri mereka sendiri, tim sukses mereka, anggota partai mereka, dan penyumbang dana kampanye mereka. Sampai kapan rakyat dikibulin seperti ini?! Karna itu rakyat indonesia seharusnya sadar, bangun dari tidur panjang, dan bangkit dari buayan demokrasi. Sistem selain islam hanya akan menyebabkan bangsa kita hancur dan jauh dari rahmat Raja kita: Allah. Namun kita melihat kepiluan yang mendalam, dalam 5 tahun kedepan kita terpaksa dipimpin oleh seorang sekuleris. Kita terpaksa dipimpin oleh orang yang melanjutkan kesengsaraan rakyat, melanjutkan utang luar negri yang penuh riba, melanjutkan penjajahan kapitalis, melanjutkan sekulerisme ditambah neoliberalisme! Demi Allah, kita butuh perubahan. Kita butuh pemimpin yang memerintah negara dengan syariat Islam. Ya! Kita butuh khalifah rasyidah. Kenapa? Karna hanya dengan sistem Islamlah kita bisa mengatasi semua masalah, karna hanya islamlah yang diturunkan Allah, karna Allahlah satu-satunya Tuhan. Semua itu kembali pada kita, apakah kita akan melanjutkan kedurhakaan besar ini atau ikut berjuang mengganti sistem kufur ini menjadi khilafah islamiyah?! Wallahu a'lam Salam pada politisi demokrasi, sadarlah akan kedurhakaan ini... About The Author Bie, that's my name. Im just an ordinary blogger.Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id. Eam no corpora maluisset definitiones. Share This Agregar a Technorati Agregar a Del.icio.us Agregar a DiggIt! Agregar a Yahoo! Agregar a Google Agregar a facebook Agregar a twitter
TELAAH KITAB DEMOKRASI SISTEM KUFUR KARYA SYEKH ABDUL QADIM ZALLUM Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi* Pendahuluan “Memilih pemimpin yang baik hukumnya wajib, maka golput haram,” demikian salah satu butir fatwa MUI hasil Ijtima’ Ulama 24 – 26 Januari 2009 di Padang Panjang, Sumatera Utara. Fatwa tersebut sebenarnya mempunyai satu kelemahan mendasar, yaitu mengabaikan sistem demokrasi yang ada. Sangat disayangkan. Mestinya dikaji dulu, apakah sistem demokrasi itu sesuai Islam atau justru bertolak belakang dengan Islam? Menurut Hizbut Tahrir, demokrasi adalah sistem kufur, sehingga implikasinya adalah haram hukumnya mengadopsi, menerapkan, dan mempropagandakannya. Pada tahun 1990, Hizbut Tahrir mengeluarkan kitab karya Syekh Abdul Qadim Zallum berjudul Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr : Yahrumu Akhdzuha aw Tathbiquha aw Ad-Da’watu Ilaiha. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Demokrasi Sistem Kufur : Haram Mengambilnya, Menerapkannya, dan Mempropagandakannya (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 1994, cet I). Telaah kitab kali ini bertujuan untuk menggambarkan isi buku tersebut, yang selanjutnya judulnya disingkat DSK (Demokrasi Sistem Kufur ). Seperti telah disebut, buku ini adalah karya Syekh Abdul Qadim Zallum (w. 2003). Beliau adalah ulama mujtahid yang faqih fid din yang pernah menjadi Amir (pemimpin) Hizbut Tahrir antara tahun 1977-2003. Buku Yang Langka Buku DSK karya Syekh Abdul Qadim Zallum tersebut sebenarnya bukan satu-satunya buku yang mengkritik demokrasi secara telak dan mendasar. Banyak buku lain yang juga menolak konsep demokrasi, misalnya : 1. Al-Hamlah Al-Amirikiyyah Li Al-Qadha` ‘Ala Al-Islam, Bab Ad Dimuqrathiyyah (Serangan Amerika Untuk Menghancurkan Islam, bab Demokrasi), dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1996; 2. Afkar Siyasiyah (Bab An-Niham ad-Dimuqrathiy Nizham Kufur min Wadh’i al-Basyar, h.135-140), dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1994; 3. Ad-Damghah Al-Qawiyyah li Nasfi Aqidah Ad-Dimuqrathiyyah (Menghancurkan Demokrasi), karya Syekh Ali Belhaj (tokoh FIS Aljazair); 4. Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz I (Bab Asy-Syura h. 246-261) karya Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir); 5. Qawaid Nizham Al-Hukmi fi Al- Islam (Bab Naqdh Ad-Dimuqrathiyyah, h. 38-95) karya Mahmud Al-Khalidi (ulama Hizbut Tahrir); 6. Ad-Dimuqratiyyah fi Dhaw’i as-Syari’ah al-Islamiyyah (Demokrasi dalam Sorotan Syariah Islam), karya Mahmud Al- Khalidi; 7. Ad-Dimuqratiyyah wa Hukmul Islam fiiha, karya Hafizh Shalih (ulama Hizbut Tahrir); 8. Ad-Da’wah Ila Al-Islam (Bab Ad-Dimuqrathiyah Laisat Asy-Syura, h. 237-239) karya Ahmad Al-Mahmud (ulama Hizbut Tahrir); 9. Syura Bukan Demokrasi (Fiqh asy-Syura wa al-Istisyarat), karya Dr. Taufik Syawi, terbitan GIP Jakarta, tahun 1997;. 10. Naqdh al-Judzur Al-Fikriyah li Ad-Dimuqrathiyah Al-Gharbiyah, karya Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti (ulama Hizbut Tahrir) (2002); 11. Haqiqah Ad-Dimuqrathiyah, karya Syaikh Muhammad Syakir Asy-Syarif (1411 H); 12. Ad-Dimuqrathiyah wa Akhowatuha, karya Abu Saif Al-Iraqi (1427 H); 13.Ad-Dimuqrathiyah Diin (Agama Demokrasi), karya Syekh Abu Muhammad Al-Maqdisi, terbitan Kafayeh Klaten, 2008 (cet II). Bahkan Syekh Abdul Qadim Zallum sendiri sebenarnya telah mengkritik demokrasi secara ringkas dalam kitabnya yang lain, yakni Kaifa Hudimat Al Khilafah (Bab Munaqadhat Ad-Dimuqrathiyah li Al-Islam, h. 59-79). Namun demikian, buku semacam DSK ini tetaplah terhitung jarang jika dibandingkan dengan buku-buku yang mempropagandakan demokrasi, yang jumlah bejibun nyaris tak terhitung lagi, baik yang memang ditulis kaum kafir maupun yang ditulis oleh intelektual muslim yang salah paham terhadap demokrasi. Lihat saja misalnya, buku berjudul Fiqih Daulah karya Yusuf Al-Qaradhawi. Berkaitan dengan demokrasi, Al-Qaradhawi menyatakan “keprihatinannya” tatkala suatu saat dia bertemu dengan seorang pemuda Yordania yang menyatakan bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang kufur. Padahal, menurut Al Qaradhawi, demokrasi tidak bertentangan dengan Islam sebab inti demokrasi adalah bahwa hak memilih penguasa ada di tangan rakyat. Dan hak semacam ini, katanya, ada dalam Islam. Tak ayal lagi, pendapat Al Qaradhawi ini –yang sebenarnya tidak tepat itu— disambut hangat dan meriah oleh sebagian kaum muslimin yang tengah mencari-cari justifikasi untuk terlibat dalam sistem demokrasi. Di tengah banjirnya propaganda demokrasi yang tak kenal henti inilah, kehadiran buku DSK nampak menggugah dan menantang. Menggugah, karena kehadirannya mengingatkan kita bahwa di saat umat tenggelam dalam kegilaan dan kemabukan terhadap demokrasi ternyata masih saja ada ulama-ulama pelita umat yang jujur dan ikhlas membimbing umat serta menyampaikan nasihat dan peringatan kepada mereka. Dan dikatakan menantang, karena buku DSK tidak memposisikan diri secara defensif dan apologis sebagai pihak yang diserang. Sebaliknya, DSK mengambil posisi ofensif yang tidak tanggung-tanggung tanpa kenal kompromi. Ungkapan “Demokrasi Sistem Kufur” adalah deklarasi yang menantang, heroik, berani, tanpa tedeng aling-aling, dan tanpa basa-basi. Dalam ungkapan ini terkandung daya tantangan yang dahsyat, yang sungguh akan terlihat kontras bila dibandingkan dengan ungkapan para intelektual muslim yang menggembar-gemborkan demokrasi tanpa rasa malu sampai berbusa-busa mulutnya, atau ungkapan sebagian ulama yang memutar-mutar lidahnya hanya untuk memberi justifikasi palsu terhadap demokrasi. Ringkas kata, buku DSK merupakan buku yang sangat layak dikaji oleh umat yang nasibnya terus terpuruk dan tak henti-hentinya dipermainkan oleh negara-negara Barat kafir yang katanya merupakan pionir-pionir demokrasi itu. DSK boleh dikatakan semacam obat mujarab yang dapat menyembuhkan umat yang tengah mengidap penyakit bingung dan sesat akibat upaya Barat –dan antek-anteknya dari kalangan penguasa dan intelektual muslim– yang tak kenal lelah menjajakan demokrasi yang kufur itu. Gambaran Isi Buku Mereka yang membaca DSK akan menemukan bahwa buku itu ditulis tanpa daftar isi, tanpa pembagian menjadi bab-bab, dan tanpa sub-sub judul. (Kitab aslinya yang berbahasa Arab juga tanpa daftar isi, tanpa bab-bab, dan tanpa anak judul). Sehingga, DSK terkesan “aneh”, tidak efektif, tidak sistematis, dan terasa janggal. Namun demikian, di balik kesan-kesan seperti itu, sebenarnya teknik penulisan DSK itu memang disengaja dan mempunyai maksud tertentu, yaitu ingin mengajak pembacanya untuk lebih mencurahkan konsentrasi dan daya pikirnya, sehingga pembaca akhirnya dapat menangkap substansi buku dan merangkai sendiri urutan dan sistematika berpikir penulis. Jadi, DSK memang bukan buku instan seperti fastfood yang cepat saji, melainkan buku yang betul-betul mengajak pembacanya untuk berpikir keras dalam memahami dan mencerna suatu ide. Kesan-kesan bahwa DSK tidak efektif, tidak sistematis, dan sebagainya –karena melulu berisi teks tanpa anak-anak judul– barangkali hanya akan dirasakan oleh mereka yang malas berpikir. Dengan menelaah DSK secara cermat, setidaknya ada 5 (lima) ide pokok (pikiran utama) yang hendak disampaikan oleh penulisnya, yaitu : Pertama, Deskripsi ringkas demokrasi, Kedua, Praktek dan paradoks demokrasi, Ketiga, Sebab dianutnya demokrasi oleh umat Islam , Keempat, Kaidah pengambilan ide dari umat dan bangsa lain, Kelima, Kontradiksi demokrasi dengan Islam. Ide pokok pertama, menjelaskan tentang demokrasi dari segi pengertiannya, sumbernya, latar belakangnya, aqidah yang melahirkannya, asas-asas yang melandasinya, serta hal-hal yang harus diwujudkannya agar rakyat dapat melaksanakan demokrasi. Ide pokok kedua, menerangkan bagaimana demokrasi yang sebenarnya ide khayal itu dipraktekkan dalam kenyataan. Dijelaskan pula paradoks yang terjadi di negara-negara Barat dan negeri-negeri Islam dalam penerapan demokrasi. Ide pokok ketiga, menerangkan 2 (dua) sebab utama mengapa umat mengambil demokrasi, yakni serangan pemikiran yang dilancarkan Barat, dan kelemahan pemahaman di kalangan kaum muslimin. Ide pokok keempat, menerangkan tentang hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh diambil kaum muslimin dari umat dan bangsa lain, serta tentang hal-hal yang haram diambil oleh kaum muslimin. Ide pokok kelima, menerangkan pertentangan total antara demokrasi dengan Islam dari segi sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta ide dan peraturan yang dibawanya. Berikut ini uraian lebih jauh untuk masing-masing ide pokok. Ide I : Deskripsi Ringkas Demokrasi Pada bagian awal DSK, Syekh Abdul Qadim Zallum berusaha menguraikan demokrasi secara ringkas. Satu hal yang beliau tekankan, bahwa demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba mengingatkan mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang dan situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya. Penjelasan ringkas ini meliputi 5 (lima) aspek utama yang berkaitan dengan demokrasi, yaitu : a). Asal-usul demokrasi , b). Aqidah demokrasi, c). Ide dasar demokrasi, d). Standar demokrasi (yaitu mayoritas), dan e). Kebebasan dalam demokrasi, sebagai prasyarat agar rakyat dapat mengekspresikan kehendak dan kedaulatannya tanpa paksaan dan tekanan. Berdasarkan kelima aspek ini, penjelasan ringkas tentang demokrasi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. 2 Demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara. 3. Demokrasi berlandaskan dua ide : a. Kedaulatan di tangan rakyat. b. Rakyat sebagai sumber kekuasaan. 4. Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan, serta pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas. 5. Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan, yaitu : a. Kebebasan beragama (freedom of religion) b. Kebebasan berpendapat (fredom of speech) c. Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership) d. Kebebasan bertingkah laku (personal freedom) Ide II : Praktik dan Paradoks Demokrasi Demokrasi adalah ide khayal (utopia), tidak sesuai dengan realitas dan penuh dengan paradoks, dan telah melahirkan dampak-dampak yang sangat buruk dan mengerikan terhadap umat manusia. Inilah yang hendak diuraikan oleh buku DSK pada ide pokok keduanya. Demokrasi dalam pengertiannya yang asli adalah ide khayal, sedang setelah dilakukan takwil padanya, tetap tidak sesuai dengan fakta yang ada. Misalnya ide bahwa pemerintahan adalah dari, oleh, dan untuk rakyat dan bahwa kepala negara dan anggota parlemen merupakan wakil dari kehendak rakyat dan mayoritas rakyat. Faktanya, tidak seperti itu. Mustahil seluruh rakyat menjalankan pemerintahan. Karena itu, penggagas demokrasi membuat sistem perwakilan, sehingga katanya, rakyat harus diwakili oleh wakil-wakilnya di parlemen. Benarkah para anggota parlemen betul-betul mewakili rakyat dan membawa aspirasi mereka? Benarkah kepala negara yang dipilih oleh parlemen juga menyuarakan hati nurani rakyatnya? Ah, ternyata tidak juga. Bohong itu semua. Di negara-negara kapitalis, seperti Amerika dan Inggris, anggota parlemen sebenarnya mewakili para kapitalis, bukan mewakili rakyat. Di Amerika, proses pencalonan dan pemilihan wakil rakyat selalu dibiayai oleh para kapitalis, demikian uraian Syekh Abdul Qadim Zallum. Banyak data kuantitatif yang menguatkan pernyataan ini. Untuk proses pencalonan satu orang senator saja, dibutuhkan biaya US $ 43 juta dolar. (Lihat Andrew L. Shapiro, Amerika Nomor 1, h. 89). Seberapa besar uang senilai US $ 43 juta dolar itu? Bayangkan, uang US $ 1 juta dolar saja (sekali lagi US $ 1 juta dolar saja), adalah sama dengan biaya pembelian 100.000 ton beras, yang dapat mencukupi kebutuhan 500.000 orang dalam satu tahun. Uang US $ 1 juta dolar dapat digunakan untuk membangun 1.000 ruang kelas yang dapat menampung sebanyak 30.000 siswa, serta dapat dimanfaatkan untuk membangun 40.000 apotik sederhana. (Lihat Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, h. 8-9). Jadi, sangat besar biaya untuk menjadi wakil rakyat di AS. Lalu, siapa yang menanggungnya? Jelas bukan rakyat dan calon bersangkutan. Para kapitalislah yang membiayai semuanya! Fakta ini sudah terkenal di Amerika. Apakah seorang kepala negara yang dipilih parlemen benar-benar menyuarakan atau memperhatikan aspirasi rakyat? Ternyata juga tidak. Dalam DSK diuraikan contoh-contoh yang pernah ada dalam sejarah mengenai penguasa yang bertindak sendiri, tanpa persetujuan mayoritas parlemen, seperti Sir Anthony Eden (Inggris), John Foster Dulles (AS), Charles De Gaule (Perancis), dan Raja Hussein (Yordania). Di samping menyoroti paradoks-paradoks demokrasi seperti itu, DSK juga menyinggung dampak-dampak buruk penerapan demokrasi. Kebebasan hak milik (sebagai prasyarat demokrasi), telah melahirkan kapitalisme yang akhirnya menjadi sarana negara-negara Barat untuk menjajah dan mengeksplotir berbagai bangsa di dunia. Akibat kapitalisme itu terutama adalah semakin memiskinkan negara-negara terjajah dan semakin membuat kaya negara-negara penjajah yang kafir. Banyak data kuantitatif yang membeberkan kenyataan ini. Negara-negara industri yang kaya (seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang) yang hanya mempunyai 26 % penduduk dunia, ternyata menguasai lebih dari 78 % produksi barang dan jasa, 81 % penggunaan energi, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia. (Lihat Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, h. 8-9). Inilah tragedi akbar terhadap umat manusia akibat demokrasi yang kafir! Kebebasan bertingkah laku yang dijajakan Barat, ternyata menimbulkan kebejatan moral yang mengerikan di Barat dan juga di negeri-negeri Islam yang mengekor Barat. Mayoritas rakyat AS (sebanyak 93 %) mengakui tidak mempunyai pedoman moral dalam hidupnya. Sekitar 31 % orang masyarakat AS yang telah berumah tangga pernah melakukan hubungan seks dengan pasangan lain. (Jumlah ini kira-kira setara dengan 80 juta orang). Mayoritas orang AS (62 %) menganggap hubungan seks dengan pasangan lain adalah sesuatu yang normal dan tidak bertentangan dengan tradisi atau moral. (Lihat Muhammad bin Saud Al-Basyr, Amerika di Ambang Keruntuhan, h. 13-32). Sungguh, ini menggambarkan betapa buruknya moral para penganut demokrasi! Ide III : Sebab Diambilnya Demokrasi oleh Umat Islam DSK pada bagian ini menerangkan mengapa demokrasi yang jelek itu tetap saja laku di kalangan umat Islam. Secara global, Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan ada 2 (dua) sebab, yaitu : Pertama, serangan kebudayaan (al-ghazwu ats-tsaqofi) yang dilancarkan Barat terhadap negeri-negeri Islam, yang dilancarkan sejak lama bahkan sebelum runtuhnya Khilafah Islamiyah, dan memuncak pada pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah (pada paruh kedua abad XIX M). Kedua, kelemahan dan kemerosotan taraf berpikir umat yang sangat parah. Kedua faktor ini saling bersinergi secara negatif, sehingga akhirnya umat terpikat dan terkecoh untuk mengambil peradaban Barat. Dalam serangan kebudayaan, Barat antara lain menempuh cara menjelek-jelekkan Islam dan menerangkan bahwa biang kerok kemerosotan umat Islam adalah hukum-hukum Islam itu sendiri. Selain itu, Barat juga melakukan manipulasi pemikiran dengan menyatakan bahwa demokrasi tidaklah bertentangan dengan Islam dan bahwa justru Barat mengambil demokrasi dari Islam. Sementara itu, pada saat yang sama kaum muslimin tengah anjlok taraf berpikirnya. Khususnya mengenai sikap yang harus diambil terhadap ide-ide yang berasal dari bangsa dan umat lain. Umat masih bingung dan belum mempunyai standar yang jelas mengenai apa yang boleh diambil dan tidak boleh diambil dari bangsa dan umat yang lain. Adanya serangan Barat dan kemerosotan taraf berpikir umat inilah yang akhirnya menjerumuskan umat untuk mengambil ide demokrasi Barat yang kafir. Ide IV : Kaidah Pengambilan Ide dari Umat dan Bangsa Lain Pada bagian ini, dengan berlandaskan kajian yang komprehensif terhadap nash-nash syara’, penulis DSK menerangkan mana saja hal-hal yang boleh diambil kaum muslimin –dari apa yang dimiliki oleh umat dan bangsa lain– dan mana saja yang tidak boleh mereka ambil. Standar atau kriterianya adalah sebagai berikut. Seluruh ide yang berhubungan dengan sains, teknologi, penemuan-penemuan ilmiah, dan yang semisalnya, serta segala macam bentuk benda/alat/bangunan yang terlahir dari kemajuan sains dan teknologi (madaniyah), boleh diambil oleh kaum muslimin. Kecuali jika terdapat aspek-aspek tertentu yang menyalahi ajaran Islam, maka kaum muslimin haram untuk mengambilnya, seperti Teori Darwin. Ini dikarenakan semua pemikiran yang berkaitan dengan sains dan teknologi tidaklah berhubungan dengan Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum syara’ yang berkedudukan sebagai solusi terhadap problematika manusia dalam kehidupan, melainkan dapat dikategorikan ke dalam sesuatu yang mubah, yang dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai urusan hidupnya. Dalam hal ini Rasullah SAW bersabda : “Kalian lebih mengetahui urusan-urusan dunia kalian.” (HSR. Muslim) Adapun ide-ide yang berkaitan dengan aqidah dan hukum-hukum syara’, serta ide-ide yang yang berhubungan dengan peradaban/kultur Islam (hadlarah), pandangan hidup Islam, dan hukum- hukum yang menjadi solusi bagi seluruh problema manusia, maka semua ide ini wajib disesuaikan dengan ketentuan syara’, dan tidak boleh diambil dari mana pun kecuali hanya dari Syari’at Islam saja. Artinya, hanya diambil dari wahyu yang terkandung dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma’ Shahabat dan Qiyas, serta sama sekali tidak boleh diambil dari selain sumber-sumber tersebut. Sebab dalam hal ini Allah SWT telah memerintahkan kita untuk mengambil apa saja yang dibawa oleh Rasul SAW kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarang oleh beliau. Allah SWT berfirman : “Apa yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah/laksanakanlah dia, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7) Karena itu, kaum muslimin tidak boleh mengambil peradaban/kultur Barat, beserta segala peraturan dan undang-undang yang terlahir darinya, termasuk demokrasi. Sebab peradaban tersebut bertentangan dengan peradaban Islam. Ide V : Kontradiksi Demokrasi dengan Islam Pada ide pokok kelima ini, Syekh Abdul Qadim Zallum menguraikan 5 (lima) segi kontradiksi Islam dengan demokrasi, yaitu : 1. Sumber kemunculan 2. Aqidah 3. Pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan 4. Prinsip Mayoritas 5. Kebebasan (1). Sumber Kemunculan Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia. Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah SAW. Dalam hal ini Allah SWT berfirman : “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm : 3-4) (2). Aqidah Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen –yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan perisai untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama– dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan. Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri. Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah –yakni hukum-hukum syara’ yang lahir dari Aqidah Islamiyah– dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia. (3). Pandangan Tentang Kedaulatan dan Kekuasaan Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri. Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat. Kekuasaan juga bersumber dari rakyat, baik kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman : “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’aam: 57) Dalam hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat. Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim) (4). Prinsip Mayoritas Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinsiannya adalah sebagai berikut : (1) Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah. (2) Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini. (3) Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya. (5). Kebebasan Dalam demokrasi dikenal ada empat kebebasan, yaitu: a. Kebebasan beragama (freedom of religion) b. Kebebasan berpendapat (fredom of speech) c. Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership) d. Kebebasan bertingkah laku (personal freedom) Ini bertentangan dengan Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya. Tidak bisa bebas dan seenaknya. Terikat dengan hukum syara’ bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya. Allah SWT berfirman : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muham- mad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An Nisaa’: 65) Penutup Setelah menguraikan kontradiksi yang teramat nyata antara demokrasi dengan Islam, pada bagian akhir kitab DSK, Syekh Abdul Qadim Zallum menarik 2 (dua) kesimpulan yang sangat tegas, jelas, dan tanpa tedeng aling-aling. Tujuannya adalah agar umat Islam terhindar dari kekufuran dan kesesatan sistem demokrasi. Dua kesimpulan utama itu sebagai berikut : Pertama, Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam itu sesungguhnya adalah sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya. Kedua, Maka dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Haram pula bagi mereka menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang atau sebagai sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya. Syekh Abdul Qadim Zallum menegaskan, “Kaum muslim wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thaghut.” [ ] = = = = **Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI ; Penerjemah kitab Demokrasi Sistem Kufur (Syekh Abdul Qadim Zallum) dan kitab Menghancurkan Demokrasi (Syekh Ali Belhaj). Download E-Book Demokrasi Sistem Kufur DISINI Sumber: http://syabab1924.blogspot.com/2010/03/telaah-kitab-demokrasi-sistem-kufur.html Rate this: Beri Penilaian ^^ Like this? Like this: Like Be the first to like this post. This entry was posted on 11 March 2011. It was filed under Ammar Ma'ruf, Berita Islam, Dakwah, Khilafah, Khilafiyah, Nahi Mungkar, Opini, Pengetahuan dan Informasi, Sejarah, Suara Kami and was tagged with Aktivis Dakwah, Democrazy, Informasi, Islam, Kapitalisme, Khilafah, Pemikiran Islam, pergerakan, Peringatan, Pluralisme, Up to date.