Friday, December 16, 2011

Democrazy Posted on Maret 1, 2008 by BLOGIE Demokrasi di Indonesia sekarang tampaknya tidak lagi mengagungkan semboyan, “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat”. Demokrasi yang eksistensinya sangat penting di tengah masyarakat kini tak mampu lagi berdiri tegak untuk mengayomi rakyat. Karena demokrasi di negeri ini sepertinya telah dikuasai penuh oleh partai politik. Zap! Parpol adalah segalanya di Indonesia sekarang ini. “Kesetiaan saya kepada negara berakhir kalau kepentingan partai saya terancam”, kira-kira begitulah slogan orang-orang partai sekarang ini. Bukan partai untuk negara, tetapi negara untuk partai. Kalau cara berpikir orang-orang partai masih terus seperti ini, maka perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia tinggal menunggu waktu saja. Pertanyaannya, Untuk apa? Ya, untuk apa orang mendirikan parpol? Apakah untuk ikut membangun dan memajukan negara dan bangsa ini? Ataukah untuk memperjuangkan kepentingan ideologi partai dalam membangun dan memajukan negara? Kalau kepentingan negara dan bangsa menjadi basis alasannya, maka kepentingan partai dan pribadi pun seharusnya menjadi urusan nomor tiga, empat dan seterusnya. Tetapi kalau kepentingan partai dan pribadi menjadi dasarnya maka itulah yang terjadi pada bangsa Indonesia sekarang ini. Parpol hanya dijadikan kendaraan untuk mengemudikan atau menguasai negara. Untuk apa menguasai negara? Tentu bermacam-macam jawabannya, tetapi ini jelas bukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Orang mendirikan partai supaya tetap berkuasa, supaya ideologinya menjadi acuan hidup bernegara, supaya Indonesia ini menjadi miliknya. Pada zaman perjuangan dahulu, pikiran semacam ini dianut tegas oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka terang-terangan mau menjadikan negara dan bangsa ini dipimpin secara komunis. PKI tidak jemu-jemunya mengambil kesempatan untuk menguasai negara, bahkan dengan cara kudeta. Siapa-siapa saja yang mendirikan parpol masih dengan cara berpikir semacam ini, tak lain adalah pengikut kaum komunis. Kalau kaum komunis kita kecam dan kita benci karena tingkah laku berpartainya semacam itu, apakah sekarang ini kita masih memberi toleransi untuk cara berpikir partai yang semacam itu? Cara berpikir orang partai semacam itu sudah berakar sejak zaman kolonial, yaitu zaman dimana orang-orang berbondong-bondong ramai membentuk partai-partai politik. Pada masa itu bermunculan partai-partai sosialis, partai komunis, partai agamis, partai nasionalis, dan segala macam varian partai “-is” lainnya. Seperti kejadian baru-baru ini, orang-orang berbondong-bondong ramai mendaftarkan parpolnya ke dephumkam. Akan tetapi muncul juga partai-partai yang bersifat sosialis-ekonomi-budaya. Partai-partai ini beranjak dari agama, nasional, budaya, etnik dan pendidikan. Mereka inilah yang membentuk partai bukan demi kepentingan politik atau kekuasaan, tetapi demi memikirkan kemajuan bangsa dan negara. Slogan mereka adalah “Kesetiaan saya kepada partai berakhir kalau kepentingan bangsa dan negara terancam”. Orang-orang golongan ini mendirikan partai bukan untuk merebut kekuasaan, tetapi untuk memikirkan kesejahteraan rakyat Indonesia yang hidupnya nelangsa, miskin dan bodoh dalam penjajahan. Partai hanya sekedar alat untuk menggalang kekuatan bersama, bukan untuk dijadikan tujuan. Sebaliknya ada juga partai-partai politik yang tujuannya hanya untuk merebut kekuasaan kolonial yakni kemerdekaan bangsa. Partai-partai politik ini menggalang kekuatan untuk mencapai kekuasaan sehingga negara yang baru ada di bawah ideologi politiknya. Mereka membentuk partai sebagai alat dan tujuan membentuk negara dan bangsa paska kolonial. Menurut mereka parpol adalah tujuan bukan alat bantu semata. Tradisi berpikir kepartaian semacam inilah yang membuat bangsa Indonesia sekarang ini seolah-olah menantang kolonialisme, hanya apa yang disebut “pemerintahan koloni” ini tak lain adalah pemerintah yang sedang berkuasa atas nama satu partai atau gabungan beberapa partai. Dengan demikian sejarah kepartaian kita belum beranjak dari zaman pergerakan nasional dahulu. Pemerintah yang sedang berkuasa itu adalah “musuh” dan partai-partai lain atau gabungan partai-partai mengincar untuk berebut kekuasaan pemerintah lewat pemilu. Kepentingan bangsa dan negara ini hanya nomor dua atau bahkan nomor tiga. Yang penting adalah kepentingan partai saya atau kepentingan keluarga saya. Semangat kepartaian non-politik di zaman pergerakan nasional yang selama ini dipandang lebih rendah dari partai-partai politik, ikut membentuk cara berpikir kita dalam dunia kepartaian negara ini. Organisasi macam Taman Siswa, Budi Utomo, Muhammadiyah, NU, semua itu cuma organisasi sosial kelas dua. Mereka ini terlalu mementingkan nasib rakyat dan bangsanya, sehingga abai terhadap perjuangan kemerdekaan. Mereka membentuk partai bukan untuk kepentingan politik kekuasaan, tetapi untuk kepentingan rakyat yang miskin dan bodoh. Setelah kemerdekaan, apakah cara berpikir partai-partai ini justru tidak harus dibalik? Dan bukan dilestarikan? Kalau kita membentuk partai politik atau non-politik terutama demi kepentingan rakyat yang miskin dan bodoh? Justru partai-partai tua yang dahulu getol memikirkan kesejahteraan rakyat, kini ikut-ikutan berbalik menjadi partai politik. Bahwasanya kepentingan partai adalah segalanya, petiklah contoh dari ulah DPR kita. Mereka ini wakil-wakil rakyat atau wakil-wakil partai? Seolah-olah DPR itu dibentuk untuk melawan pemerintah yang sedang berkuasa dan bukannya bersama-sama pemerintah memikirkan pembangunan bangsa dan negara. Ketika presiden tidak mau hadir di DPR, seolah-olah menghina anggota dewan yang merasa dirinya terhormat sebagai wakil rakyat yang sejati. Seolah-olah wakil-wakil rakyat ini siang malam kerja keras memikirkan kenapa dana bencana mengendap, kenapa korban lumpur Lapindo tetap demo, kenapa pedagang kaki lima terus digusur, kenapa sembako semakin mahal, kenapa krisis listrik ikut merajalela, kenapa pembagian kompor gas gratis untuk rakyat jelata tidak merata? Ketidakhadiran presiden bukanlah sebuah substansial. Kalau substansinya yang dipermasalahkan, mau lari kemana saja presiden tentu harus bertanggung jawab. Ia tak perlu hadir, kalau masalahnya dapat diselesaikan. Ramai-ramai ketidakhadiran presiden belakangan ini menunjukkan perang gengsi antara “kaum pergerakan” dan “pemerintahan koloni”. Ehm… Sepertinya, belenggu paska kolonial belum lepas dari pikiran kita. Semboyan demokrasi pun tak urung berubah menjadi, “Dari Ningrat, Oleh Ningrat, Untuk Ningrat”. democrazy1.jpg Democrazy! Yeah, democracies are going crazy…

No comments:

Post a Comment