Saturday, December 31, 2011

Banyak orang berharap demokrasi mampu melahirkan kesejahteraan. Namun apa yang terjadi? Demokrasi justru mahal harganya, jauh dibandingkan dengan yang diperoleh rakyat dari sistem yang dipaksakan tersebut. Demokrasi telah melahirkan korupsi di mana-mana. Pasalnya, sistem ini 'mengharuskan' mereka yang ingin berkuasa untuk menyediakan biaya politik bagi kekuasaan yang akan diraihnya. Pemilihan secara langsung mewajibkan para kandidat penguasa dan wakil rakyat populer agar dipilih oleh rakyat. Hanya untuk sebuah kursi, miliaran rupiah dikeluarkan. Menurut informasi, calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota minimal harus menyiapkan dana sebesar Rp 5 milyar. Bahkan pasangan calon gubernurwakil gubernur Jawa Timur menghabiskan dana kampanye mencapai Rp 1,3 trilyun dalam pemilu kada 2008 lalu. Wow, ini tentu jumlah yang sangat besar. Pemerintah sendiri harus merogoh kas negara. Tahun 2010, negara mengeluarkan dana Rp 55 trilyun bagi 244 daerah yang menyelenggarakan pemilu kada. Bandingkan itu dengan kebijakan pembatasan subsidi BBM tahun 2011 ini gara-gara pemerintah merasa rugi karena menambah subsidi sebesar Rp 7-8 trilyun. Namun biaya politik yang begitu besar itu tak memperbaiki nasib rakyat. Bahkan impian terciptanya tata pemerintahan yang kian baik pun sekadar khayalan. Justru dengan sistem pemilihan langsung ini koordinasi pemerintahan makin kacau. Karena merasa dipilih langsung oleh rakyat, banyak kepala daerah yang mengabaikan penguasa di atasnya. Suatu ketika Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengundang seluruh bupati dan walikota, yang hadir hanya tiga orang. Hal yang hampir sama terjadi di daerah lain. Bahkan ada daerah yang sampai berebut wilayah dan aset. Anehnya, pemerintah di atasnya tak berkutik. Bukan tidak mungkin, kondisi ini akan memudahkan negeri ini dipecah belah oleh kekuatan asing dengan mengatasnamakan demokrasi. Ini jauh lebih mahal lagi! *Tabloid Media Umat Edisi Terbaru: 21 Januari - Februari 2011

No comments:

Post a Comment